Sungguh jodoh adalah rahasia Allah. Bertahun-tahun beraktivitas dalam wilayah yang sama, bahkan nyaris dalam beberapa kesempatan berada dalam jarak yang cukup dekat, tapi Allah tak pernah mempertemukan kami. Apalagi saling kenal. Hingga saatnya tiba.
***
Tahun 2000 saya hijrah dari kota Jakarta ke kota hujan, Bogor. Meski awalnya berniat bekerja di Jakarta tapi takdir menetapkan saya untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus Universitas Djuanda (Unida) yang terletak persis di perempatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pilihan saya saat itu. Sebagai mahasiswa baru yang tidak berasal dari Bogor saya berusaha untuk mencari teman sebanyak mungkin. Mengakrabkan diri dengan siapapun. Terutama kawan-kawan seangkatan yang studi dalam satu kelas.
Saat menunggu pergantian mata kuliah biasanya saya dan sejumlah kawan laki-laki satu kelas berkumpul di tempat kos teman yang tak jauh dari kampus. Kurang lebih dua ratus meter. Kebiasaan itu lazim terutama bagi mahasiswa-mahasiswa yang harus pulang-pergi dari rumah ke kampus.
Tetapi untuk pergantian mata kuliah yang marjin waktunya tak terlalu jauh saya dan kawan-kawan biasanya hanya duduk-duduk di taman kampus yang biasa kami sebut "dibawah pohon rindang" (DPR). Lahan terbuka berumput seluas lapangan bola yang dipinggirnya berdiri tegak sejumlah pohon rindang dimana persis dibawahnya berjajar rapi tempat duduk panjang dari semen. Tidak ada pagar di kampus kami, sehingga masyarakat setempat bebas untuk mampir berteduh di taman tersebut, atau sekadar menikmati suasana kampus. Tidak terkecuali sejumlah pekerja dari pabrik yang tak jauh dari lokasi kampus maupun mereka yang tempatnya bekerja beberapa kilo jaraknya.
Dan tahukah sahabat diantara mereka yang duduk-duduk di "taman DPR" adalah perempuan yang di awal Agustus 2009 duduk takzim bergantian dengan saya mengucapkan Sighat Taklik sebagai bagian prosesi akad nikah. Mojang Bandung yang saat ini resmi menjadi pendamping hidup saya. Padahal kurang lebih enam tahun kami beraktivitas di sekitar Ciawi, tapi Allah tak pernah mempertemukan kami.
Saya kuliah di Unida dari pertengahan tahun 2000 hingga 2006. Sementara di tahun 2000 istri hijrah dari Bandung dan mulai bekerja di Bogor bahkan sempat mengambil sewa kos tak jauh dari kampus Unida. Belakangan saya tahu lokasinya cukup dekat dengan jarak kosan teman kuliah saya dimana di tahun-tahun tersebut saya sering singgah menunggu pergantian mata kuliah. Kurang dari lima puluh meter. Tapi Allah belum mempertemukan kami.
Istri ketika itu bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik industri manafaktur yang letaknya dua kilometer dari kampus ke arah Kabupaten Sukabumi. Tahun 1999 sebenarnya istri sempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) di perusahaan tersebut tapi ia tak menyangka kalau akhirnya bakal diterima bekerja di perusahaan tersebut.
Kurang lebih satu tahun saja ia kos di dekat kampus saya kuliah.Tapi bilamana ada kesempatan, menurut penuturan istri, selepas pulang bekerja ia dan sejumlah kawan-kawan dekatnya tak jarang mampir duduk-duduk di "taman DPR". Melepas lelah katanya. Namun seingat saya tak pernah takdir mempertemukan kami meski saya adalah salah satu mahasiswa kelas pagi yang tidak jarang pulang paling sore lantaran aktivitas organisasi kemahasiswaan ketika itu. Kelas sore dimulai dari jam lima sore lewat hingga pukul sembilan malam.
Selain bekerja, istri saya saat itu terlibat dalam serikat pekerja dan dewan kemakmuran mushola tempatnya bekerja. Aktivitasnya yang terakhir membuka kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan sejumlah aktivis da'wah Islam di Bogor. Termasuk lembaga dakwah kampus.
Di Unida terdapat sebuah organisasi lembaga dakwah kampus dimana dalam beberapa kesempatan istri diundang kegiatan mereka. Misalnya dalam sebuah seminar yang diadakan di aula kampus tahun 2003. Persisnya seminar yang digagas divisi keputrian lembaga dakwah kampus Unida yang menghadirkan artis Astri Ivo. Menurut cerita istri, ia hadir karena diajak pengurusnya yang sebagian ia kenal. Tapi di tahun itu bahkan kami tak pernah bertemu di kampus atau dimanapun.
Pertengahan 2007 saya bekerja di Jakarta. Sementara karena alasan prinsipil di tahun tersebut istri mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan memutuskan untuk mengajar di Taman Kanak-kanak Al Qur'an tak jauh dari Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi.
Lewat rekomendasi dari mulut ke mulut orang tua murid, beberapa anak kenalan orang tua murid mengambil les privat kepada istri saya. Dan diantara anak yang mengambil les privat adalah putri dari Bapak Eri Krisna, salah satu dosen sekaligus Dekan saya semasa kuliah di FISIP Unida. Saya tak tahu bagaimana reaksi beliau kalau tahu bahwa yang mengajar privat anaknya adalah istri dari salah satu mahasiswanya di FISIP Unida. Kami tak mungkin bertanya lagi karena belum lama ini di tahun 2009 Allah sudah memanggil beliau. Dosen dan orang tua murid (privat) yang sama-sama kami kenal ramah dan santun itu.
***
Tahun 2000 saya hijrah dari kota Jakarta ke kota hujan, Bogor. Meski awalnya berniat bekerja di Jakarta tapi takdir menetapkan saya untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus Universitas Djuanda (Unida) yang terletak persis di perempatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pilihan saya saat itu. Sebagai mahasiswa baru yang tidak berasal dari Bogor saya berusaha untuk mencari teman sebanyak mungkin. Mengakrabkan diri dengan siapapun. Terutama kawan-kawan seangkatan yang studi dalam satu kelas.
Saat menunggu pergantian mata kuliah biasanya saya dan sejumlah kawan laki-laki satu kelas berkumpul di tempat kos teman yang tak jauh dari kampus. Kurang lebih dua ratus meter. Kebiasaan itu lazim terutama bagi mahasiswa-mahasiswa yang harus pulang-pergi dari rumah ke kampus.
Tetapi untuk pergantian mata kuliah yang marjin waktunya tak terlalu jauh saya dan kawan-kawan biasanya hanya duduk-duduk di taman kampus yang biasa kami sebut "dibawah pohon rindang" (DPR). Lahan terbuka berumput seluas lapangan bola yang dipinggirnya berdiri tegak sejumlah pohon rindang dimana persis dibawahnya berjajar rapi tempat duduk panjang dari semen. Tidak ada pagar di kampus kami, sehingga masyarakat setempat bebas untuk mampir berteduh di taman tersebut, atau sekadar menikmati suasana kampus. Tidak terkecuali sejumlah pekerja dari pabrik yang tak jauh dari lokasi kampus maupun mereka yang tempatnya bekerja beberapa kilo jaraknya.
Dan tahukah sahabat diantara mereka yang duduk-duduk di "taman DPR" adalah perempuan yang di awal Agustus 2009 duduk takzim bergantian dengan saya mengucapkan Sighat Taklik sebagai bagian prosesi akad nikah. Mojang Bandung yang saat ini resmi menjadi pendamping hidup saya. Padahal kurang lebih enam tahun kami beraktivitas di sekitar Ciawi, tapi Allah tak pernah mempertemukan kami.
Saya kuliah di Unida dari pertengahan tahun 2000 hingga 2006. Sementara di tahun 2000 istri hijrah dari Bandung dan mulai bekerja di Bogor bahkan sempat mengambil sewa kos tak jauh dari kampus Unida. Belakangan saya tahu lokasinya cukup dekat dengan jarak kosan teman kuliah saya dimana di tahun-tahun tersebut saya sering singgah menunggu pergantian mata kuliah. Kurang dari lima puluh meter. Tapi Allah belum mempertemukan kami.
Istri ketika itu bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik industri manafaktur yang letaknya dua kilometer dari kampus ke arah Kabupaten Sukabumi. Tahun 1999 sebenarnya istri sempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) di perusahaan tersebut tapi ia tak menyangka kalau akhirnya bakal diterima bekerja di perusahaan tersebut.
Kurang lebih satu tahun saja ia kos di dekat kampus saya kuliah.Tapi bilamana ada kesempatan, menurut penuturan istri, selepas pulang bekerja ia dan sejumlah kawan-kawan dekatnya tak jarang mampir duduk-duduk di "taman DPR". Melepas lelah katanya. Namun seingat saya tak pernah takdir mempertemukan kami meski saya adalah salah satu mahasiswa kelas pagi yang tidak jarang pulang paling sore lantaran aktivitas organisasi kemahasiswaan ketika itu. Kelas sore dimulai dari jam lima sore lewat hingga pukul sembilan malam.
Selain bekerja, istri saya saat itu terlibat dalam serikat pekerja dan dewan kemakmuran mushola tempatnya bekerja. Aktivitasnya yang terakhir membuka kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan sejumlah aktivis da'wah Islam di Bogor. Termasuk lembaga dakwah kampus.
Di Unida terdapat sebuah organisasi lembaga dakwah kampus dimana dalam beberapa kesempatan istri diundang kegiatan mereka. Misalnya dalam sebuah seminar yang diadakan di aula kampus tahun 2003. Persisnya seminar yang digagas divisi keputrian lembaga dakwah kampus Unida yang menghadirkan artis Astri Ivo. Menurut cerita istri, ia hadir karena diajak pengurusnya yang sebagian ia kenal. Tapi di tahun itu bahkan kami tak pernah bertemu di kampus atau dimanapun.
Pertengahan 2007 saya bekerja di Jakarta. Sementara karena alasan prinsipil di tahun tersebut istri mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan memutuskan untuk mengajar di Taman Kanak-kanak Al Qur'an tak jauh dari Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi.
Lewat rekomendasi dari mulut ke mulut orang tua murid, beberapa anak kenalan orang tua murid mengambil les privat kepada istri saya. Dan diantara anak yang mengambil les privat adalah putri dari Bapak Eri Krisna, salah satu dosen sekaligus Dekan saya semasa kuliah di FISIP Unida. Saya tak tahu bagaimana reaksi beliau kalau tahu bahwa yang mengajar privat anaknya adalah istri dari salah satu mahasiswanya di FISIP Unida. Kami tak mungkin bertanya lagi karena belum lama ini di tahun 2009 Allah sudah memanggil beliau. Dosen dan orang tua murid (privat) yang sama-sama kami kenal ramah dan santun itu.
Maret tahun 2008 saya diterima bekerja di sebuah subkontraktor telekomunikasi untuk penempatan Medan. Tahun dimana istri mendaftarkan diri sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor. Di tahun ini pula hati begitu sangat merindukan pendamping hidup. Sementara Ibu dari istri saya ketika itu makin sering bertanya kepada anaknya kapan dan dengan siapa akan menikah.
Saat itu adalah momen dimana hati saya makin sering bertanya siapa yang bakal nanti jadi pendamping hidup saya. Begitu juga istri sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarganya yang belum menikah. Tapi jodoh seperti juga kematian sejatinya semakin dekat. Akhirnya Allah mulai "menggerakkan" pertemuan kami. Dan hanya Allah yang mampu mempertemukan kami.
Bermula dari rekomendasi Uwa perempuan saya yang kebetulan saat itu satu pengajian dengan istri dibawah naungan Tahajud Call Indonesia cabang Bogor. "Ini ada beberapa teman Uwa yang belum menikah, siapa tahu ada yang cocok", begitu kira-kira Uwa menyampaikan disuatu kesempatan. Hingga akhirnya kami dipertemukan di pertengahan 2009. Lewat ta'aruf yang dipimpin oleh suami guru ngaji Istri. Seorang ustadz muda lulusan Unida yang ternyata sebelumnya saya kenal ketika mengerjakan riset untuk skripsi.
***
Beberapa bulan setelah ta'aruf akhirnya kami menikah. Kami sangat bersyukur karena memiliki minat yang sama terhadap buku. Dari situlah awal keakraban dan diskusi panjang kami. Baik dikontrakan mungil kami, disalah satu kamar yang disediakan mertua di Bandung, dalam perjalanan naik angkutan umum bahkan via telepon seluler saat kami dipisahkan daratan dan lautan ribuan kilo meter antara Bogor - Medan. Dalam istilah istri, "seperti teman dekat yang sudah lama tak bersua."
Medan, 30 Januari 2010
* kado (kecil) yang terlambat untuk "gigi kelinci"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar