Kamis, 12 Januari 2012

Kalender 2012 Gratis (correl draw version)

Preview

Assw, sahabat, Kalender "Berbagi" 2012. File Correl Draw x4. Free Download ! Cekidot ....


download disini

atau http://www.ziddu.com/download/18194044/kalender2012_12.cdr.html

Selasa, 09 Februari 2010

Ajari Aku Memahamimu ...

lama sekali aku menimbang ...
memahami ...
berbilang waktu...
mungkin aku masih belum memahamimu

sabar, kau tetap sabar
dan, ketika keterbatasan yang kujanjikan
senyum, kau hanya tersenyum
yakin,
bumi,
air,
pepohonan, hanya Milik Allah
dan kita khalifah

aku menunggumu
kutatap lama, indahnya bintang di langit
aku masih belum bisa memahamimu,
kenapa, aku menunggu jawaban

tapi, tetap aku belum (bisa) memahamimu
maafkan, maafkan, ribuan tak cukup
aku yang belum memahami bahasamu,
aku yang dhaif ini ...
dan sederet khilaf ini


Ya Rahman,
ajari aku bahasa kasih
Ya Rahiim,
ajari aku bahasa cinta
agar aku bisa,
memahamimu ...

seperti nelayan dengan rasi bintang
seperti pengembara dengan mata angin,

tapi,
ribuan kali, maafkan aku belum (bisa) memahamimu ...
semoga fajar
esok datang menjelang,
karena aku tengah berlari
untuk menyingsingnya

untuk ribuan kali
memahamimu

Medan, 11:43 PM 7/20/2009
(untuk yang telah berusaha memberikan terbaik)

Aku ingin (duduk) disampingmu

Aku ingin duduk di sampingmu
Sejenak ...
Tak Lama ; ingin menepi tapi entah tak tahu

Aku ingin duduk di sampingmu
Bukan hendak membuat riak ...
Sungguh,
Sudikah ...

Aku ingin duduk di sampingmu
menatap rembulan, bercanda tentang kebahagiaan
menikmati lara ...

Aku ingin duduk disampingmu
di sudut At Taqwun, menghampar sajadah
memasrahkan jiwa, dengan sisa tenaga


Aku ingin duduk disampingmu
menyaksiksan sunset,
menghirup semerbak daun teh
meletakkan batu-batu di pundak sementara

Aku ingin sujud di depanmu
dan kau jadi makmumku,
menghisab kehidupan,
berhenti berlari, berhenti mencari

Medan, 6:39 PM 6/25/2009

3 Rindu

Rindu I : Muhammad, Athar dan Pertiwi

Duhai Rokib
sang pencatat kebaikan
aku ingin kau membaca hatiku

aku rindu,
rindu Muhammad kekasih Umat
biarkan aku trance
dalam masa lampau

aku tengah muak dengan kekinian

sekejap saja
biarkan aku menyelamatkan diriku
dari fitnah Raja yang Bingung, Jendral Buaya, Godzilla atau
siapapun dia yang menungganginya,

lemparkan aku sekejap untuk bertemu Muhammad,
aku ingin bertanya banyak tentang Indonesia
tentang bangkit dari hukum rimba kejahiliyahan

kalaulah tak pantas, izinkan
aku bertemu Mohammad Athar yang tak kenal letih
mengingatkan penguasa

kalau juga tak pantas cukuplah
bertemu Baharuddin Lopa atau Hoegoeng
setidaknya aku bisa menangis sejenak
menangisi Indonesia bersama mereka

sejenak saja,
bahkan Muhammad juga menangis

Oh Gusti tapi Engkau tak pernah
menulis dalam firman-MU segala
sesuatu yang mengecilkan hati manusia
cukup Engkau membiarkan
kami menangis

Oh Pertiwi, maafkan aku ...

Kalaulah ini semua kemunafikan
biarlah Atid mencatatnya.


Rindu II : Ribuan Rindu

"Suami Pengganggu" itu julukanmu padaku
dan kali itu aku hanya tersenyum
ketika bibir mungilmu terus mengulang-ulang
kata-kata sama

cinta bagimu lebih dari sekadar cincin pengikat
maka kau ikhlaskan ketika jemarimu kini polos

cinta bagimu lebih dari seorang Ustadz
maka kau tak letih membangunkanku
untuk bermunajat di sepertiga malam,
: "jangan tunggu lima menit", katamu

cinta bagimu lebih dari soal nafkah
apalagi kuliah, aih kali ini aku
teringat Sulaiman yang mengakui
hikmah seekor ikan yang
mengembalikan kekuasaan
Ar Razzaq di hatinya

Rabb, akulah Sulaiman itu
kutitip ia dalam lindungan-Mu
dalam ribuan rindu, Ribuan


Rindu III : Rumah-MU

aku rindu mengetuk-ngetuk pintu-MU
karena rahmat-Mu tujuanku

aku rindu menangis di rumah-MU
karena Engkau membiarkanku
semoga cinta-MU bertambah padaku

oh Tuhan aku rindu Hasanain, rindu Amaliyah ...
rindu pintu rumah-MU yang selalu terbuka ...

aku rindu menangis bersama-MU
karena kurindu syahdu itu,

aku rindu terisak di sepertiga malam-MU
karena tak pernah Engkau
membiarkan pecinta-MU menjadi pungguk
merindukan bulan.

ah memang pantas Muhammad selalu merindukan-MU
karena rindu-MU tak pernah terlarang


Batam, 3:23 PM 22-11-2009

(semasa dilanda rindu sendirian)

Seperti Teman Dekat ...

Sungguh jodoh adalah rahasia Allah. Bertahun-tahun beraktivitas dalam wilayah yang sama, bahkan nyaris dalam beberapa kesempatan berada dalam jarak yang cukup dekat, tapi Allah tak pernah mempertemukan kami. Apalagi saling kenal. Hingga saatnya tiba.

***

Tahun 2000 saya hijrah dari kota Jakarta ke kota hujan, Bogor. Meski awalnya berniat bekerja di Jakarta tapi takdir menetapkan saya untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus Universitas Djuanda (Unida) yang terletak persis di perempatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) pilihan saya saat itu. Sebagai mahasiswa baru yang tidak berasal dari Bogor saya berusaha untuk mencari teman sebanyak mungkin. Mengakrabkan diri dengan siapapun. Terutama kawan-kawan seangkatan yang studi dalam satu kelas.

Saat menunggu pergantian mata kuliah biasanya saya dan sejumlah kawan laki-laki satu kelas berkumpul di tempat kos teman yang tak jauh dari kampus. Kurang lebih dua ratus meter. Kebiasaan itu lazim terutama bagi mahasiswa-mahasiswa yang harus pulang-pergi dari rumah ke kampus.

Tetapi untuk pergantian mata kuliah yang marjin waktunya tak terlalu jauh saya dan kawan-kawan biasanya hanya duduk-duduk di taman kampus yang biasa kami sebut "dibawah pohon rindang" (DPR). Lahan terbuka berumput seluas lapangan bola yang dipinggirnya berdiri tegak sejumlah pohon rindang dimana persis dibawahnya berjajar rapi tempat duduk panjang dari semen. Tidak ada pagar di kampus kami, sehingga masyarakat setempat bebas untuk mampir berteduh di taman tersebut, atau sekadar menikmati suasana kampus. Tidak terkecuali sejumlah pekerja dari pabrik yang tak jauh dari lokasi kampus maupun mereka yang tempatnya bekerja beberapa kilo jaraknya.

Dan tahukah sahabat diantara mereka yang duduk-duduk di "taman DPR" adalah perempuan yang di awal Agustus 2009 duduk takzim bergantian dengan saya mengucapkan Sighat Taklik sebagai bagian prosesi akad nikah. Mojang Bandung yang saat ini resmi menjadi pendamping hidup saya. Padahal kurang lebih enam tahun kami beraktivitas di sekitar Ciawi, tapi Allah tak pernah mempertemukan kami.

Saya kuliah di Unida dari pertengahan tahun 2000 hingga 2006. Sementara di tahun 2000 istri hijrah dari Bandung dan mulai bekerja di Bogor bahkan sempat mengambil sewa kos tak jauh dari kampus Unida. Belakangan saya tahu lokasinya cukup dekat dengan jarak kosan teman kuliah saya dimana di tahun-tahun tersebut saya sering singgah menunggu pergantian mata kuliah. Kurang dari lima puluh meter. Tapi Allah belum mempertemukan kami.

Istri ketika itu bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik industri manafaktur yang letaknya dua kilometer dari kampus ke arah Kabupaten Sukabumi. Tahun 1999 sebenarnya istri sempat Praktek Kerja Lapangan (PKL) di perusahaan tersebut tapi ia tak menyangka kalau akhirnya bakal diterima bekerja di perusahaan tersebut.

Kurang lebih satu tahun saja ia kos di dekat kampus saya kuliah.Tapi bilamana ada kesempatan, menurut penuturan istri, selepas pulang bekerja ia dan sejumlah kawan-kawan dekatnya tak jarang mampir duduk-duduk di "taman DPR". Melepas lelah katanya. Namun seingat saya tak pernah takdir mempertemukan kami meski saya adalah salah satu mahasiswa kelas pagi yang tidak jarang pulang paling sore lantaran aktivitas organisasi kemahasiswaan ketika itu. Kelas sore dimulai dari jam lima sore lewat hingga pukul sembilan malam.

Selain bekerja, istri saya saat itu terlibat dalam serikat pekerja dan dewan kemakmuran mushola tempatnya bekerja. Aktivitasnya yang terakhir membuka kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan sejumlah aktivis da'wah Islam di Bogor. Termasuk lembaga dakwah kampus.

Di Unida terdapat sebuah organisasi lembaga dakwah kampus dimana dalam beberapa kesempatan istri diundang kegiatan mereka. Misalnya dalam sebuah seminar yang diadakan di aula kampus tahun 2003. Persisnya seminar yang digagas divisi keputrian lembaga dakwah kampus Unida yang menghadirkan artis Astri Ivo. Menurut cerita istri, ia hadir karena diajak pengurusnya yang sebagian ia kenal. Tapi di tahun itu bahkan kami tak pernah bertemu di kampus atau dimanapun.

Pertengahan 2007 saya bekerja di Jakarta. Sementara karena alasan prinsipil di tahun tersebut istri mengundurkan diri dari tempatnya bekerja dan memutuskan untuk mengajar di Taman Kanak-kanak Al Qur'an tak jauh dari Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi.

Lewat rekomendasi dari mulut ke mulut orang tua murid, beberapa anak kenalan orang tua murid mengambil les privat kepada istri saya. Dan diantara anak yang mengambil les privat adalah putri dari Bapak Eri Krisna, salah satu dosen sekaligus Dekan saya semasa kuliah di FISIP Unida. Saya tak tahu bagaimana reaksi beliau kalau tahu bahwa yang mengajar privat anaknya adalah istri dari salah satu mahasiswanya di FISIP Unida. Kami tak mungkin bertanya lagi karena belum lama ini di tahun 2009 Allah sudah memanggil beliau. Dosen dan orang tua murid (privat) yang sama-sama kami kenal ramah dan santun itu.


Maret tahun 2008 saya diterima bekerja di sebuah subkontraktor telekomunikasi untuk penempatan Medan. Tahun dimana istri mendaftarkan diri sebagai mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Bogor. Di tahun ini pula hati begitu sangat merindukan pendamping hidup. Sementara Ibu dari istri saya ketika itu makin sering bertanya kepada anaknya kapan dan dengan siapa akan menikah.

Saat itu adalah momen dimana hati saya makin sering bertanya siapa yang bakal nanti jadi pendamping hidup saya. Begitu juga istri sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarganya yang belum menikah. Tapi jodoh seperti juga kematian sejatinya semakin dekat. Akhirnya Allah mulai "menggerakkan" pertemuan kami. Dan hanya Allah yang mampu mempertemukan kami.

Bermula dari rekomendasi Uwa perempuan saya yang kebetulan saat itu satu pengajian dengan istri dibawah naungan Tahajud Call Indonesia cabang Bogor. "Ini ada beberapa teman Uwa yang belum menikah, siapa tahu ada yang cocok", begitu kira-kira Uwa menyampaikan disuatu kesempatan. Hingga akhirnya kami dipertemukan di pertengahan 2009. Lewat ta'aruf yang dipimpin oleh suami guru ngaji Istri. Seorang ustadz muda lulusan Unida yang ternyata sebelumnya saya kenal ketika mengerjakan riset untuk skripsi.

***

Beberapa bulan setelah ta'aruf akhirnya kami menikah. Kami sangat bersyukur karena memiliki minat yang sama terhadap buku. Dari situlah awal keakraban dan diskusi panjang kami. Baik dikontrakan mungil kami, disalah satu kamar yang disediakan mertua di Bandung, dalam perjalanan naik angkutan umum bahkan via telepon seluler saat kami dipisahkan daratan dan lautan ribuan kilo meter antara Bogor - Medan. Dalam istilah istri, "seperti teman dekat yang sudah lama tak bersua."


Medan, 30 Januari 2010

* kado (kecil) yang terlambat untuk "gigi kelinci"

Senin, 08 Februari 2010

Menanti Pertemuan Kelima



Persis baru empat kali saya bertemu istri. Dua kali sebelum menikah dan dua kali setelah menikah.

Pertemuan perdana kami saat ta'aruf dengan istri yang didampingi muhrimnya yang saat itu guru ngaji istri. Karena satu dan lain hal ketika itu saya hanya bisa datang sendiri tanpa didampingi siapapun. Mengingat jarak, guru ngaji saya di Medan pun tak bisa datang. Muhrim saya ketika itu suami guru ngaji istri yang kebetulan juga memimpin prosesi ta'aruf.

Prosesnya berlangsung singkat, kira-kira kurang dari setengah jam. Dimulai dengan basmallah, sedikit tausiyah dari suami guru ngaji istri dan kemudian kesempatan untuk kami saling bertanya yang diharapkan dapat memantapkan keputusan setelah ta'aruf : melanjutkan khitbah atau mundur.

Pasca ta'aruf baik saya maupun istri ketika itu diberi kesempatan untuk berulangkali merenung, menimbang hingga istikharah. Akhirnya saya putuskan untuk melanjutkan ta'aruf ke jenjang pernikahan. "Saya harus segera menyelamatkan diri dari zina dan godaaan berzina" demikian azam ketika itu.

"Ya Rabb, jika Engkau tak mengabulkan jodoh yang hamba inginkan, setidaknya berikanlah yang hamba butuhkan." Doa yang terus saya panjatkan ketika teringat kegagalan ta'aruf yang pernah sebelumnya saya jalani dengan seorang akhwat berbulan-bulan sebelumnya.

Alhamdulillah tak berapa lama pihak istri, melalui guru ngajinya, mengabarkan bahwa istri saya saat itu memiliki niatan yang sama untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Memang prosesnya sempat berlarut-larut dikarenakan terpisah jarak yang begitu jauh. Istri tinggal, kuliah seraya bekerja sebagai guru di Bogor. Sementara saya karyawan swasta yang berdinas di Medan. Lucunya baik saya ataupun istri ketika itu sempat berpikir untuk mundur dari proses ta'aruf, meski takdir berkata lain. Awalnya ada keraguan. Untuk mengatasi, salah satunya, berulangkali saya ingat azam saya. Saya khawatir keraguan itu datangnya dari syeitan.

Setelah berkonsultasi dengan guru ngaji saya juga masukan guru ngaji istri dan tentunya orang tua, di suatu kesempatan saya datang langsung ke rumah keluarga istri untuk ta'aruf dengan pihak keluarganya di Bandung. Persisnya beberapa hari sebelum menikah. Sebetulnya saat itu kami bertemu, tapi saya menghabiskan waktu dengan ngobrol dengan keluarganya terutama kakak ipar dan Ibunya, sementara dia hanya duduk menunduk agak jauh dari saya dan lebih banyak membisu. Pertemuan kedua yang hampir minus komunikasi.

Beberapa minggu sebelumnya orangtua saya sudah datang ke Bandung melakukan lamaran, tapi saya tidak bisa hadir lantaran saat itu masih di Medan, dan belum bisa cuti. Sementara jatah kepulangan saya yang ditanggung perusahaan hanya tiga bulan sekali. Dengan dana yang terbatas saya harus pandai-pandai memanfaatkan waktu dan kesempatan. Jatah kepulangan tiga bulan sekali saya manfaatkan untuk cuti dan menikah.

Bandung, hari minggu 9 Agustus 2009, Iis Endah Ribuanti, demikian nama lengkapnya, resmi menjadi pendamping hidup saya. Hari itu adalah pertemuan ketiga kami yang mengharukan sekaligus salah satu momen bahagia dalam hidup saya. Akad dan walimah dilangsungkan hari itu juga. Pernikahan yang begitu sederhana untuk ukuran kebanyakan.

Untuk menyiasati dana pernikahan kami yang terbatas, kami sepakat tak membuat undangan, tapi cukup menginfokan ke keluarga dan teman-teman terdekat. Untuk tetangga dan kerabat dekat undangan lisan disampaikan langsung ketika silaturahmi ataupun via telepon. Sebagian via Short Message Service (SMS), sebagian kecil via Facebook, sementara untuk rekan-rekan kantor saya gunakan fasilitas e-mail. Tentu tanpa mengurangi rasa hormat kami.

Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT istri memudahkan saya dalam mahar. "Semoga ini pertanda ia adalah calon istri soleha", bisikku dalam hati. Begitupun dana menikah, tak ada tuntutan untuk menyediakan dana yang dipatok dalam jumlah tertentu sebagaimana berlaku di masyarakat kita. "Berapapun dikasih itulah rezeki kamu", demikian istri menirukan pesan Ibunya saat membincangkan seputar mahar dan dana pernikahan.

Alhamdulillah Ibu mertua saya bukan orang yang menjadikan pernikahan ajang pamer sehingga dirasa wajib untuk dilakukan besar-besaran. Untuk alasan objektif menurut saya seharusnya sikap orang tua memang demikian. Miris rasanya menyaksikan fenomena di tengah masyarakat dimana pihak keluarga perempuan sudah menetapkan jumlah nominal dan barang tertentu sebagai syarat menikahi anaknya tapi menyepelekan anjuran agama dalam memilih jodoh.

"Bulan madu" kami habiskan dirumah orang tua istri di pojok Kota Bandung, sisanya di kontrakan istri di Bogor yang hingga sekarang jadi tempat kami tinggal. Alhamdulillah istri selalu memahami kondisi kami yang terbatas.

Dari hal-hal seperti itu saya berusaha mengenal istri lebih jauh. Termasuk mencari tahu apa yang menjadi kesukaanya. Kami menjajaki perasaan satu sama lain. Berusaha untuk saling memahami kekurangan dan kelebihan pasangan. Dalam tempo singkat. "Kalau nikah itu harus diterima satu paket, Gun. Baik kelebihan juga kekurangannya", begitu nasehat seorang kawan suatu ketika.

Demi Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang sungguh indah pacaran setelah menikah. Perhatian yang dilandasi keinginan untuk memenuhi kewajiban dan menunaikan hak satu sama lain sangat boleh jadi menumbuhkan perasaan kami. Siapa yang tak luluh hatinya kalau antara suami dan istri berusaha saling memuliakan satu sama lain ?

Kadang kami bertanya-tanya dan bingung sendiri apa enaknya ya pacaran sebelum menikah ? Semua yang dilakukan kebanyakan jatuhnya haram bin dosa. Berbeda dengan yang menikah dulu baru pacaran, segala bentuk kemesraan dengan istri digolongkan Allah sebagai pahala. Bahkan hubungan suami istri dihitung sedekah.

Yang (masih) meragukan munculnya rasa saling menghargai, menghormati, menyayangi dan mencintai dari mereka yang menikah lewat jalur ta'aruf harus membuang jauh-jauh anggapan mereka. Justru yang terjadi fenomena kawin-cerai terus meningkat dari mereka yang memilih pacaran sebelum menikah. Baik karena hadirnya orang ketiga atau dalih prinsip yang tak lagi sama. Saya belum dengar tuh' kasus-kasus kawin cerai dari mereka-mereka yang memilih jalur ta'aruf untuk menikah.

"Terima kasih Ya Rabb, kau telah menakdirkan hamba untuk menikah melalui proses ta'aruf".

Hari-hari kebersamaan kami hanya berlangsung kurang lebih dua pekan. Singkat. Padahal saat itu kami mulai belajar memaknai benih-benih perasaan yang mulai tumbuh. Saya harus kembali ke Medan. Meski hati kecil berharap untuk bisa ditempatkan di Jakarta, tapi kantor meminta saya untuk kembali ke Medan. Praktis, saat di Medan komunikasi kami berlangsung via telepon seluler. Setidaknya bisa memupus rasa rindu kami.

Alhamdulillah beberapa hari menjelang hari raya Idul Fitri 1430 Hijriyah yang jatuh tanggal 20 September 2009, saya dan teman-teman karyawan muslim yang ditempatkan di luar kota, termasuk Medan, diberikan jatah tiket pesawat kembali Jakarta. Ketika itu saya dapat tiket pesawat diatas jam 19.00 WIB. Kira-kira menjelang tengah malam baru sampai Bogor. Itulah pertemuan keempat dengan istri saya. Sekaligus pertemuan terakhir di tahun 2009. Karena tepat tanggal 30 September 2009 saya kembali ke Medan, meski saya sempat melontarkan permintaan kepada atasan saya untuk dipindahtugaskan ke Jakarta.Ternyata takdir menetapkan kami untuk kembali berjauhan.

"Mungkin ini ujian", pikir saya. Allah SWT pasti sudah menakar baik-baik kemampuan seorang hamba dalam menerima ujian.

Setelah berdiskusi dengan istri dan sejumlah pertimbangan saya putuskan untuk mulai mencari info pekerjaan di wilayah Jabodetabek atau Bandung. Meski belum tampak hasilnya.

Praktis, terhitung dari terakhir kembali ke Medan, sudah tiga bulan lebih beberapa hari saya berjauhan dengan istri. Mungkin ini cara Allah mendidik kami agar benih-benih perasaan kami terus tumbuh. "Kalau berdekatan boleh jadi tidak seperti ini suasana kebatinannnya", begitu kami bersepakat dalam hal ini seraya berusaha untuk positif menyikapi kenyataan.

***

Beberapa hari lagi, Insya Allah, untuk kali kelima saya bertemu istri. Tak sabar rasanya menunggu detik pertemuan itu. Kangen dengan keripik jamur olahannya, momen dimana kami mendiskusikan buku-buku yang kami baca, sendau gurau tentang "suami penggangu" yang membuat senyum dan tawa muncul bergantian.

Seumpama pohon, benih-benih perasaan ini mulai berurat dan berakar. Daun-daunnya malah sudah mulai tumbuh agak lebat.

Semoga Allah SWT tetap menjaga hati dan perasaan kami untuk saling mencintai dalam bingkai ridho Illahi. Semoga Allah SWT membimbing kami untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Keluarga yang penuh cinta karena Allah SWT. Mohon doanya ...


Medan, 2 - 3 Januari 2010

dimuat www.eramuslim.com 5 Januari 2010
http://www.eramuslim.com/oase-iman/menanti-pertemuan-kelima.htm